Produksi susu di Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar dua persen dari kebutuhan domestik. Hal ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor susu untuk memenuhi kebutuhannya. Apa sebenarnya masalah yang menyebabkan sedikitnya produksi susu di Indonesia?
Dosen Fakutas Peternakan Universitas Padjadjaran Novi Mayasari, M.Sc., PhD, mengatakan rendahnya populasi dan produksi susu merupakan masalah yang mengemuka dalam industri sapi perah di Indonesia. Masalah tersebut disebabkan oleh beberapa factor, di antaranya keterbatasan suplai pakan dan bibit yang berkualitas ,rendahnya teknologi reproduksi, serta rendahnya pertahanan tubuh sapi perah sehingga kesehatannya sering kali tidak terjaga.
Tiga masalah ini menjadi bagian dari banyaknya masalah dari hulu hingga hilir dalam industri sapi perah Indonesia. Setiap sektor memerlukan beragam inovasi teknologi dalam menyelesaikan permasalahannya.
Rendahnya ketersediaan zat gizi dalam pakan akan berakibat pada rendahnya sistem pertahanan tubuh dan produktivitas susu. Menurunnya sistem imun ini akan berdampak pada mudahnya sapi terserang berbagai penyakit.
Permasalahan ini pula yang mendorong Dr. Novi untuk bergerak. Doktor lulusan Wageningen University ini fokus pada bagaimana meningkatkan kesehatan induk sapi perah dan pedet.
“Sekarang peternak banyak mengalami kesulitan pakan dan sering kali harus mengeluarkan sekian biaya untuk pengobatan. Sekalinya (sapi) terkena penyakit, uang yang harus dikeluarkan cukup besar” ujar Dr. Novi.
Ia banyak meneliti tentang identifikasi biomarker patofisiologi pada tubuh sapi perah. Proses ini merupakan upaya identifikasi karakteristik biologis tubuh sapi sebagai responsnya terhadap intervensi lingkungan. Hal ini merupakan upaya meningkatkan kekebalan alami tubuh melalui penanda biologis (biomarker).
Dengan mengindentifikasi biomarkernya, Dr. Novi dapat mengetahui gejala awal penyakit pada sapi, terutama di masa transisi dan awal laktasi. Masa transisi merupakan periode 3 minggu sebelum melahirkan hingga 3 minggu pasca melahirkan. Pada periode ini, kondisi tubuh sapi sangat rentan terserang penyakit dan jauh lebih stres dibandingkan periode lainnya.
Sementara masa awal laktasi merupakan masa kembalinya produksi susu sapi setelah memasuki periode kering (dry period), atau masa dimana sapi tidak dilakukan pemerahan. Saat masa kering, ambing sapi disiapkan untuk produksi susu.
Penyiapan produksi susu ini membutuhkan asupan gizi yang banyak. Namun, rendahnya konsumsi pakan dan rendahnya asupan gizi dari pakan memunculkan adanya ketidakseimbangan antara energi yang keluar untuk maintenance dan memproduksi susu dibandingkan dengan energi yang masuk dari pakan. Akibatnya, terjadi kesetimbangan negatif yang berkaitan erat dengan sistem imun tubuh sapi.
Lebih lanjut Dr. Novi menjelaskan, pada masa transisi, terjadi banyak perubahan fisiologis untuk proses laktogenesis, kebuntingan, hingga pemenuhan dasar tubuh dan produksi susu. Kondisi stres dan rendahnya sistem imun acapkali muncul pada periode akhir kebuntingan sampai awal laktasi (partus). Pada periode inilah penting dilakukan peningkatan sistem imun untuk menekan munculnya berbagai penyakit.
Pemanfaatan antibodi alami atau natural antibodi (NAb) berpotensi sebagai biomarker yang menggambarkan kesehatan pada sapi perah berdasarkan referensi global. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Dr. Novi dan tim, rendahnya taraf NAb dalam darah berhubungan positif dengan terjadinya resiko penyakit subklinis mastitis dan klinis mastitis (pembengkakan ambing sapi akibat inflamasi bakteri).
“Kalau manusia terkena penyakit akan gampang ditanya (oleh dokter). Sapi kan tidak bisa ditanya. Oleh karena itu diperlukan pengukuran yang bisa mendeteksi atau mendiagnosis risiko pernyakit bahkan sebelum sapi terkena penyakit,” jelas Novi.
Identifikasi dilakukan dengan menganalisis hubungan antara NAb dengan antigen Lipopolysaccharides (LPS) dan Keyhole limpet hemocyanin (KLH). LPS dan KLH adalah eksogenus antigen, dimana sapi dianggap belum pernah mengenali antigen tersebut. Hasil analisis hubungan ini ternyata menghasilkan keterkaitan dengan kondisi kesehatan ambing sapi.
Rendahnya taraf NAb immunoglobulin M (IgM) terhadap LPS menunjukkan kemungkinan terjadinya penyakit subklinis dan klinis mastitis. Dengan mengidentifikasi NAb, Dr. Novi dapat mendeteksi gejala sapi terkena penyakit bahkan dari tiga minggu sebelum sapi terkena penyakit.
Identifikasi biomarker ini sebetulnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Namun, menurut Dr. Novi, sebagian besar identifikasi tersebut hanya menggunakan spesifik antigen tertentu, seperti antigen untuk pengukuran penyakit tertentu seperti brucellosis, metritis, atau penyakit lainnya. Identifikasi biomarker yang dilakukan Dr. Novi spektrumnya lebih luas, karena menggunakan antigen KLH dan LPS yang tidak hanya spesifik terhadap satu penyakit.
Harus Dipatenkan
Penelitian identifikasi biomarker NAb ini merupakan hasil riset Dr. Novi saat menempuh studi Doktoral di Wageningen University, Belanda. Ia juga tergabung dalam proyek riset EU bersama peneliti dari perguruan tinggi di berbagai negara di benua Eropa.
Sebanyak 167 sapi jenis Fries Holland (Friesian Holstein) diidentifikasi oleh Dr. Novi dan tim melalui identifikasi biomarker NAb. Semua sapi ini sedang memasuki masa laktasi. Selain itu, seluruh sapi juga harus bebas dari proses imunisasi. Sebab, kemampuan antibodi alami akan berubah atau terkategorikan menjadi spesifik antibodi tatkala sapi telah dilakukan imunisasi.
Dr. Novi mengatakan, pemanfaatan NAb ini juga dilakukan untuk menekan pemberian vaksin dan antibiotik pada ternak. Pemberian antibiotik akan menyebabkan kandungan antibiotik terakumulasi di tubuh sapi. Antibiotik pun akan melekat di susu sehingga menyebabkan menurunnya kandungan gizi di dalamnya.
“Makanya, saya cari strategi untuk meningkatkan antibodi. Sapinya sehat, susunya pun bisa dikonsumsi,” kata dosen kelahiran Bandung, 8 November 1982 ini.
Penelitian tersebut berhasil menghasilkan kesimpulan bahwa natural antibodi berpotensi sebagai biomarker pada sapi perah dengan menganalisis hubungan taraf NAb dengan antigen dalam tubuh. Namun, penelitian ini tidak serta merta bisa langsung digunakan. Butuh paten dan konfirmasi lebih lanjut terkait implementasinya.*
Laporan oleh Arief Maulana